Pada sebuah garis waktu, aku pernah jatuh cinta
kepada seseorang.
Dulu, kami sering berbincang dan berbagi
pikiran tentang banyak hal.
Ia akan melihat dari sebuah sudut pandang, aku
akan melihat dari sudut pandang yang cenderung berbeda.
Menariknya, kami selalu menemukan titik temu
dalam setiap diskusi kami.
Selalu.
Sampai suatu ketika, aku lupa tepatnya kapan,
mungkin sekitar Oktober atau November tahun lalu, ia datang dengan sebuah
pertanyaan sederhana.
“May, kalau orang yang
udah percaya Kristus bunuh diri, masuk surga nggak?”
“Kalau udah percaya
Kristus harusnya nggak akan bunuh diri, sekalipun ada keadaan-keadaan dimana
pikiran untuk melakukan itu muncul, tapi seharusnya nggak sampai kepada
percobaan untuk melakukannya kan. Kenapa?”
“Aku mau meyakinkan
pemikiranku aja. Kalau matinya nggak sengaja, masuk surga nggak?”
“Contohnya?”
“Ya ngebut-ngebut aja
di jalan, tunggu sampai ada yang nyambar, terus mati. Kan nggak bunuh diri.”
“Tapi kan tetap aja
niat awal melakukannya untuk bunuh diri. Nunggu disambar kan?”
Pembicaraan itu berlanjut tentang beberapa
masalah yang terjadi, mengapa pikiran kurang baik itu bisa terpikirkan olehnya,
sampai ia tiba pada kalimat,
“Dia Tuhan yang pasti bisa melewati apapun,
May. Dia sempurna.”
Aku nggak pernah mencari tahu apa yang terjadi
dengannya saat ini.
Aku nggak pernah mencari tahu di kota
mana dia berada saat ini, apa pekerjaannya, terutama, apakah konsep yang sama
masih melekat dalam pemikirannya saat ini.
Tapi dimanapun itu, Tuhanku yang mengasihiku
akan melindunginya :)
Hari-hari berlalu dan aku makin menyadari bahwa
begitu banyak orang Kristen punya konsep yang sama.
Tuhan Yesus adalah Allah yang bisa menanggung apapun karena Dia sempurna.
Bahkan pernyataan paling menggelitik yang
pernah didengar adik kelompokku dari seseorang yang sharing dengannya berisi,
“Waktu Tuhan Yesus di kayu salib, Dia harus melepaskan
ke-Allah-an-Nya supaya bisa merasakan rasa sakit yang sempurna.”
Edan.
Jadi maksudnya, ke-Allah-an Tuhan Yesus
membuat-Nya gagal untuk merasakan rasa sakit yang seharusnya Dia rasakan di
kayu salib?
Konyol.
Mengapa kita mudah menerima konsep kasih Allah sempurna, kebaikan Allah
sempurna, pengampunan Allah sempurna, tapi kemudian berlaku tidak adil
terhadap-Nya dengan enggan berpikir bahwa kesempurnaan-Nya
juga membuat Ia harus menanggung rasa
sakit yang sempurna?
Aku percaya bahwa kesempurnaan Allah menyentuh
segala hal, termasuk rasa sakit yang Ia harus tanggung.
Kesempurnaan-Nya tentu membuat-Nya menanggung
rasa sakit dalam kadar paling sempurna.
Pada hari-hari dimana hatiku paling patah dan
pecah, seringkali aku bersedih dan menyesali keadaan mengapa orang yang
kucintai tidak bisa mengenali sebesar dan seluas apa cintaku untuknya. Betapa
banyaknya ia menyita hati, pikiran, dan doa-doaku. Mengapa tidak ada yang mengerti, Tuhan? Mengapa
hanya kak San satu-satunya orang di muka bumi ini yang bisa mengerti itu?
Ada banyak malam dimana aku berlutut di hadapan
Allah sambil menangis untuk mengisahkan cerita yang sama terus-menerus. Pada malam-malam
itu pula Allah membelai lembut rambutku dan mengusap kepalaku, berkata lembut dengan mata-Nya yang berkaca-kaca, “Putri-Ku, bukankah Aku yang lebih
dulu merasakannya? Bukankah Aku yang lebih dulu mencintai seisi dunia dan dunia
yang gagal mengenali cinta-Ku? Bukankah Aku yang paling mengerti perasaanmu
saat ini dalam dimensi paling sempurna?”
Aku tersenyum.
“Ah, Tuhan. Betapa kecilnya kesedihan hatiku
dibandingkan kesedihan-Mu, ya.”
Sewaktu aku disalahpahami, tulisan-tulisanku dianggap dengan sengaja menyakiti, aku dianggap mengeraskan hati, tidak tahu diri, hatiku sangat sedih dan aku banyak menangis.
Tapi waktu itu Tuhan bilang, "Sayang, bukankah Aku yang paling tahu rasanya disalahpahami? Dituduh? Tiap kali Aku seakan terlambat menolong manusia dalam kesusahan-kesusahannya, apa yang manusia katakan? 'Tuhan dimana Engkau? Mengapa Engkau meninggalkan aku?' Manusia seketika menjadi amnesia akan semua hal yang pernah kulakukan untuknya. Aku disalahpahami, Aku dituduh, oleh orang-orang yang paling Ku-cintai. Bukankah Aku yang paling mengerti perasaanmu saat ini dalam dimensi paling sempurna?"
Sewaktu aku disalahpahami, tulisan-tulisanku dianggap dengan sengaja menyakiti, aku dianggap mengeraskan hati, tidak tahu diri, hatiku sangat sedih dan aku banyak menangis.
Tapi waktu itu Tuhan bilang, "Sayang, bukankah Aku yang paling tahu rasanya disalahpahami? Dituduh? Tiap kali Aku seakan terlambat menolong manusia dalam kesusahan-kesusahannya, apa yang manusia katakan? 'Tuhan dimana Engkau? Mengapa Engkau meninggalkan aku?' Manusia seketika menjadi amnesia akan semua hal yang pernah kulakukan untuknya. Aku disalahpahami, Aku dituduh, oleh orang-orang yang paling Ku-cintai. Bukankah Aku yang paling mengerti perasaanmu saat ini dalam dimensi paling sempurna?"
Aku tersenyum lagi.
“Ah, Tuhan. Betapa kecilnya kesedihan hatiku dibandingkan kesedihan-Mu, ya.”
Pernah suatu kali aku ditinggalkan oleh orang
yang paling kucintai di muka bumi. Paling kucintai sekaligus paling kubutuhkan
waktu itu. Kondisinya waktu itu aku sedang terpuruk, tidak punya nyali untuk
sekedar hidup, dan depresi. Dan dia merasa itulah saat yang paling tepat untuk
pergi.
Rasanya?
Hampir mati :)
Selama dua puluh dua tahun aku hidup, aku pikir
itu adalah hari-hari paling berduka dalam hidupku.
Hanya orang-orang yang pernah ditinggalkan saat
hampir mati yang tahu rasanya seperti apa.
Kemudian Allah menunjukkan satu bagian yang
sangat familiar di Alkitab.
“Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan
Aku?”
Sejak saat itu aku makin peka akan perasaan
Tuhan Yesus.
Aku makin sadar bahwa kesempurnaan-Nya justru
seringkali membuat-Nya harus menanggung emosi-emosi dalam kadar paling sempurna
yang pernah ada.
Tuhan Yesus, betapa kecilnya kesedihanku
dibandingkan kesedihan-Mu saat Bapa-Mu meninggalkan-Mu ya? ðŸ˜
Sewaktu Daud, seorang yang berkenan di hati
Allah dan yang melakukan segala kehendak-Nya (1 Sam. 13 : 14) jatuh ke dalam
dosa perzinahan, bisa bayangkan betapa terluka dan hancurnya hati Allah waktu
itu?
Ah Tuhan, aku pun pasti telah melukai dan
meremukkan hati-Mu sama dalamnya dengan Daud ketika aku jatuh ke dalam dosa
yang sama ya?
Aku, perempuan yang begitu melekat di hati dan
pikiran-Mu ini.
Aku juga telah melihat banyak sekali orang yang
merasa takut akan sesuatu.
Tapi belum pernah sekalipun, sama sekali belum
pernah, salah satu di antara mereka menjadi sangat ketakutan sampai-sampai peluhnya
menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah. Paling jauh juga
hanya terkencing-kencing di celana.
Hanya satu orang di dunia ini yang kutahu (tidak kusaksikan langsung tapi kuimani) pernah mengalami hal serupa.
Tuhan Yesus.
“Ia sangat ketakutan dan makin
bersungguh-sungguh berdoa. Peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang
bertetesan ke tanah.” – Lukas 22 : 44
Aku pikir, tidak ada rasa takut yang lebih
sempurna yang pernah ada di dunia ini daripada rasa takut yang dirasakan Tuhan
Yesus di taman Gestemani waktu itu.
Saat aku jatuh cinta, sorot matanya yang
memancarkan keleluasaan adalah salah satu hal yang paling kucintai di muka
bumi.
Aku sangat bahagia saat menatap mata itu.
Aku sangat bahagia saat menatap mata itu.
Dan kini aku berpikir, “Kebahagiaan yang Allah rasakan
pasti jauh lebih sempurna ya saat Dia melihat mataku memancarkan keleluasaan
yang sama.”
Kebahagiaanku adalah hal yang paling banyak menyita hati dan pikiran-Nya setiap waktu.
Karena itu aku telah memutuskan, aku akan selalu belajar seni untuk berbahagia, seni untuk bersukacita, juga seni untuk merayakan penderitaan.
Belajar dari Dia, supaya kebahagiaan yang kuperoleh itu benar, bukan dengan merusak kebahagiaan orang lain ataupun dengan melakukan tipu muslihat.
Kebahagiaanku adalah hal yang paling banyak menyita hati dan pikiran-Nya setiap waktu.
Karena itu aku telah memutuskan, aku akan selalu belajar seni untuk berbahagia, seni untuk bersukacita, juga seni untuk merayakan penderitaan.
Belajar dari Dia, supaya kebahagiaan yang kuperoleh itu benar, bukan dengan merusak kebahagiaan orang lain ataupun dengan melakukan tipu muslihat.
Kepadamu yang telah merasakan berjuta jenis
perasaan serta emosi yang pernah tercipta di muka bumi, aku juga telah
merasakannya.
Kita bersama-sama telah merasakannya.
Kita telah pernah merasakan kesedihan yang
mendalam, kekecewaan yang mendalam, duka yang mendalam, ketakutan yang
mendalam, cinta yang mendalam, dan banyak emosi lainnya.
Untuk itu, mari ingat bagian ini; Allah-pun telah terlebih
dahulu merasakannya.
Bahkan, Ia merasakannya dalam dimensi paling
sempurna.
Kalau ditanya betapa berhati-hatinya aku
menjalani kehidupan saat ini, tidak, betapa berhati-hatinya aku berpikir,
berkata-kata, dan berperilaku saat ini, aku pikir kak San dan Winda adalah
orang yang paling tahu jawabannya. Mereka adalah saksi hidup dalam
perbincangan-perbincangan seriusku dengan Allah. Dan kalau ditanya alasannya
apa, itu karena Allah telah memberiku kesadaran bahwa setiap kali aku berbuat dosa,
setiap kali pikiran, perasaan, perkataan, dan perbuatanku menyimpang dari
kehendak-Nya, aku telah memberi-Nya rasa
sakit yang sempurna.
Dan tidak sepatutnya aku, perempuan yang selalu
menyita hati dan pikiran-Nya sepanjang waktu, terus-menerus menghancurkan
hati-Nya.
Bukan berarti aku telah berhenti melukai-Nya.
Tidak.
Aku masih sering mengecewakan-Nya.
Seringkali malah.
Aku hanya terus belajar mengurangi kadarnya saja :)
Kita semua harus belajar melakukan hal yang sama toh?
Bukan berarti aku telah berhenti melukai-Nya.
Tidak.
Aku masih sering mengecewakan-Nya.
Seringkali malah.
Aku hanya terus belajar mengurangi kadarnya saja :)
Kita semua harus belajar melakukan hal yang sama toh?
Jadi, yok.
Sebagai orang-orang yang diampuni, jalani kehidupan
dengan penuh kehati-hatian.
Bukan karena takut akan murka Allah, tapi karena
takut akan menyakiti hati-Nya.
Dia, yang di dalam hati dan pikiran-Nya,
sepanjang waktu terngiang-ngiang tentang kita.
Romantis ya?
:)
Bersedihlah, menangislah, berdukalah, tapi
selalu ingat, Allah telah terlebih dahulu merasakannya, dan Ia telah merasakan semua itu dalam dimensi paling
sempurna.
Jangan lagi hidup dengan pemikiran “Waktu Tuhan
Yesus di kayu salib, Dia harus melepaskan ke-Allah-an-Nya supaya bisa merasakan
rasa sakit yang sempurna.”
Tidak.
Pemikiran seperti itu adalah bentuk kesombongan yang membuat manusia seolah-olah ada di atas Allah sehingga mampu merasakan sesuatu yang lebih besar daripada apa yang Allah mampu rasakan.
Tidak.
Pemikiran seperti itu adalah bentuk kesombongan yang membuat manusia seolah-olah ada di atas Allah sehingga mampu merasakan sesuatu yang lebih besar daripada apa yang Allah mampu rasakan.
Menerima konsep bahwa kasih Allah sempurna,
kebaikan Allah sempurna, pengampunan Allah sempurna, harus juga bersikap adil
dengan menerima konsep kesedihan dan rasa
sakit Allah juga sempurna.
“Imam Agung kita itu bukanlah imam yang tidak
dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita. Sebaliknya, Ia sudah dicobai dalam segala hal¸ sama
seperti kita sendiri; hanya Ia tidak berbuat dosa!” – Ibrani 4 : 15 (BIMK)
Thank you for sharing Lady
ReplyDeleteAku nangis bacanya
ReplyDeleteBukan karna tulisan nya sedang bercerita hal sedih, tapi karna Allah bicara lewat tulisan itu
"Sondang, bukan kah hati Ku juga pernah di sakiti dunia ?"
Terus bilang gini
"Percayalah Sondang, Aku sudah mengalahkan dunia, jangan takut lagi ya"