Akhirnya..
Setelah sekian lama hiatus, hari ini aku
punya waktu, tenaga, dan inspirasi untuk menyoreti blog ini sebagai sarana
menampung pemikiran kompleks nan detailku yang terkadang hanya bisa dimengerti
oleh aku dan Tuhan. Terima kasih Tuhan :’)
Jadi hari ini pertama kalinya aku melayani di
PAK sebagai seorang alumni (karena tahun lalu pas masih mahasiswa juga udah
pernah ‘dipanggil’ melayani disana). Eciiieeee.. Ada peningkatan satu level :’D
Meningkat usianya maksudnya :3
Ibadah PAK hari ini membahas tentang ekposisi
Habakuk, dan itulah yang akan kubagikan melalui tulisanku di malam yang dingin
bekas persinggahan gagah hujan senja tadi. Bagian ini dibawakan oleh Pdt.
Zendrato Manullang, S.Pd, S.Th, which is
my favorite Pengkhotbah ever !! ^_^
Kebayang ga gimana bahagianya aku hari ini? :D
Oke, kita masuk ke bagian yang lebih serius.
Kalian tahu Habakuk? Pernah dengar tentang
beliau? Pernah baca kitabnya? Aku yakin banyak dari kita yang kesulitan
menemukan dimana letak kitab Habakuk, yang tentunya tak semudah menemukan kitab
Mazmur ataupun Kisah Para Rasul.
Ya, Habakuk memanglah bukan nabi yang ‘sebesar’
Yesaya ataupun Yeremia. Beberapa pembicara sering menggunakan istilah ‘nabi
kecil’ (yang mana aku kurang senang mendengar istilah tersebut), dan syukurlah bang
Zendrato ga menggunakan istilah yang sama. Dan itulah bagian yang menarik dari
nabi Habakuk ini. Tidak ada tulisan yang bisa secara riil menjelaskan siapa
dia, darimana dia berasal, bagaimana silsilah keluarganya, berapa usianya,
apalagi apa makanan favoritnya dan siaran radio rohani mana yang sering dia
dengarkan. Namun satu hal yang pasti, nabi
Habakuk adalah seorang yang beriman.
Kitab Habakuk menceritakan tentang
penglihatan nabi Habakuk akan penjajahan bangsa Yehuda oleh bangsa Babilonia
(Babel), kisah dimana orang – orang yang ‘kuat’ dibawa ke Babilonia untuk
dipekerjakan disana dan tinggallah di Yerusalem sisa – sisa bangsa Yehuda yang
lemah namun setia; Mungkin kita lebih akrab dengan cerita Daniel dalam kasus
ini.
Habakuk hidup di jaman raja Yosia, raja
Yehuda yang takut akan Allah (sayangnya ketakutannya akan Allah tidak diwarisi
oleh anak – anaknya Yoahas dan Yoyakim yang menjadi raja setelah dia). Sepertinya
Habakuk memang tumbuh dengan menyaksikan bagaimana Yosia memimpin bangsa Yehuda
sesuai dengan firman Allah. Kalau bang Zendrato tadi bilang, di masa kepemimpian
Yosia, bangsa itu ada di posisi yang ‘baik.’ Keterpurukan moral kembali terjadi
saat bangsa itu dipimpin oleh orang – orang yang tidak takut akan Tuhan pula. Masuk
akal, bukan? Inilah yang menjadi dosa bangsa Yehuda pada saat itu. Ketidaksetiaan
berjamaah.
Sangkin sedikitnya orang – orang yang didapati tetap setia, sampai – sampai mereka
disebut ‘sisa’. Dan karena itulah, mereka harus diadili, mereka harus dihajar, karena Allah menghajar orang – orang yang dikasihi-Nya.
Sederhananya, nabi Habakuk tumbuh dengan
dasar iman yang idealis. Apa itu iman
yang idealis? Iman yang idealis berkisah tentang seorang manusia yang
mempercayai bahwa Tuhan pastilah membela orang benar dan tidak mungkin memakai
orang yang tidak takut akan Dia menyatakan keadilan bagi umat-Nya. Inilah yang
menjadi akar masalahnya. Inilah yang menjadi pergumulan nabi Habakuk.
Oh Tuhan, rasanya
tidak mungkin sekali Engkau memakai bangsa yang tidak mengenal-Mu itu untuk
menyatakan keadilan-Mu kepada bangsa kami, ya walaupun kami berdosa?
Apalagi Babilonia,
bangsa yang besar itu, bangsa yang kejam itu, rasanya tidak mungkin sekali sisa
– sisa umat-Mu yang masih setia ini bisa terluput dari kekejaman mereka, seolah
– olah mereka akan bertanya “Kamu masih setia kepada Tuhan atau tidak?” dan
kalau kami menjawab, “Ya” maka mereka akan meluputkan kami dari penjajahan itu?
Ah, tidak
mungkin sekali Tuhan.
Pastilah kami
semua akan dihabisi oleh mereka.
Pastilah mereka
tidak akan pandang buluh dalam menindas kami, entah kami setia kepada-Mu
ataupun tidak.
Tapi, Tuhan,
bukankah Kau seharusnya membela umat-Mu yang masih setia ini?
Bahkan bangsa
Israel yang tegar tengkuk di zaman Musa itu saja Kau payungi dengan tiang awan
agar tak kepanasan di siang hari, mengapa Kau seolah – olah tidak mendengar
teriakku atas penindasan yang dialami bangsa ini?
Terlebih lagi
mereka, bangsa kafir itu, Kau pakai untuk menyatakan keadilan-Mu atas kami?
Oh, Tuhan,
rasanya ini tidak masuk akal sama sekali.
Idealnya,
seharusnya bukan begini cara-Mu menyatakan keadilan-Mu atas kami.
Masa’an bangsa
yang tidak lebih benar dari kami itu Kau pakai menyatakan keadilan-Mu atas
kami?
Masa’an bangsa
yang tidak lebih benar dari kami itu Kau pakai menghajar kami karena
ketidaksetiaan kami?
Beginilah kira – kira pergumulan itu kalau
disederhanakan; bagaimana melihat keadilan Allah dalam waktu dan cara yang tidak
ideal menurut pandangan manusia.
Eksposisi ini dibagi atas 4 bagian oleh bang
Zendrato.
Bagian pertama bercerita tentang menanti waktu Tuhan dalam kesetiaan (1 :
2 – 4)
Pertama kali, Habakuk diuji oleh masalah
waktu. Seperti yang saya tuliskan di atas, sudah sekian lama nabi Habakuk
meneriakkan tentang penindasan itu kepada Allah, tapi apa yang dia rasakan? Dia
merasa sepertinya Allah sedang membiarkan orang fasik menindas orang benar
dalam waktu yang panjang. Bahkan setelah doa syafaatnya sekian lama itu, lihat
apa respon Allah dalam Habakuk 1 : 5 – 11 (baca sendiri yaa). Oh, Tuhan. Aku sendiri
merasa tamparan ini keras sekali. Setelah sekian lama merasa diperlakukan tidak
adil, berharap bahwa Allah akan meluputkan bangsa Yehuda dari musuhnya, Allah
justru seolah – olah semakin ‘menakut – nakuti’ umat-Nya melalui deskripsinya
tentang bangsa fasik yang akan dipakai untuk menyatakan keadilan-Nya
(Babilonia). Allah seolah – olah tidak bersegera menolong umat-Nya, menutup
mata dan telinga-Nya serta berdiam diri menyaksikan penindasan itu.
Ya, waktu kerap kali menjadi penguji dalam
kemurnian dan keteguhan seseorang. Berapa lama kita menjadikan hal yang sama
sebagai pergumulan kita? Berapa tahun waktu yang sudah kita habiskan untuk
menggumulkan hal yang sama? Pekerjaan? Teman hidup? Pertanyaannya, apakah kita masih sama setianya mendoakan
hal itu seperti ketika pertama kali kita mendoakannya?
Ataukah kita mulai mereka – reka jawaban dari
Tuhan; alih – alih pemikiran kita sendiri? Silahkan jawab sendiri, saya sudah menjawabnya
di dalam hati saya tadi sore :)
Bagian kedua bercerita tentang membiarkan Tuhan bekerja dengan cara yang
tidak terselami (1 : 5 – 17)
Habakuk mengurung
cara Allah dengan pemikiran:
Bagaimana mungkin
Tuhan memakai orang jahat mengingatkan orang benar? (1 : 5 – 6)
Bagaimana mungkin
Tuhan memakai orang yang lebih jahat untuk menghajar orang yang kejahatannya
lebih kecil? (1 : 13)
Sayangnya kita terlalu sering menganggap ‘cukup’ pengalaman rohani yang kita miliki; Nyatanya seluruh pengalaman
itu tidak cukup besar untuk menampung cara – cara luar biasa dari Allah, yang
akan dinyatakan-Nya sepanjang zaman.
Ketika kita sudah mengurung cara Allah, disitulah terjadi kekeliruan pada iman kita. Mari belajar
bagaimana menerima cara Tuhan tanpa mencampurinya. Mari belajar membangun
kepekaan dalam komunitas; Masihkah benar? Ataukah sudah menyimpang? Jangan –
jangan keterlibatan dengan cara – cara yang tidak benar kita bungkus dengan
kalimat – kalimat sok rohani “Buktinya
Tuhan saja izinkan ini terjadi, bukankah ini cara Tuhan?”
Bagian ketiga bercerita tentang kepastian Tuhan dalam menegakkan
keadilan-Nya (2 : 1 – 19)
“...Mengapa Engkau memandangi orang – orang yang
berbuat khianat itu dan Engkau berdiam diri, apabila orang fasik menelan orang
yang lebih benar dari dia?” (1 : 13)
Bagian ini mengingatkanku bahwa kita semua
pasti akan diadili sesuai dengan perbuatan kita masing – masing. Seringnya mata
kita hanya tertuju kepada ketidakadilan besar, sehingga ketidakadilan kecil
tidak lagi dipandang sebagai sebuah ketidakadilan; Padahal, konsep ini bertentangan
dengan keadilan Allah. Keadilan-Nya akan menyambangi setiap kejahatan, besar dan kecil. Kejahatan
yang lebih sedikit dari kejahatan si penindas tidak akan pernah membuat
kejahatan kecil si korban berubah menjadi ketidakjahatan. Jadi, berhati –
hatilah!
---Isilah galon milik PT. Aq** dengan air
mineral bermerk sama, bukan dengan air suling yang harganya lebih murah 75%---
Ini contoh kecilnya.
Bagian keempat bercerita tentang kesetiaan menantikan Tuhan menuntaskan
keadilan-Nya ( 3 : 1 – 19)
Masa penantian adalah masa pergumulan, tapi
masa pergumulan bukanlah masa yang buruk. Hidup oleh iman membawa kita kepada
kepada ruang yang maha luas untuk melihat keadilan Tuhan, bahkan sampai kepada kehidupan
yang kekal, yang akan menjadi ruang yang sangat cukup bagi Allah untuk
menyatakan keadilan-Nya, ketika kita belum atau tidak dapat melihatnya di
ruang sempit kehidupan di dunia ini.
Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon
anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, ladang tak menghasilkan,
kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang,
namun aku akan bersorak – sorak di dalam Tuhan, beria – ria di dalam Allah yang menyelamatkanku.
Sebagai penutup, saya mengutip surat pertama
Petrus di pasal 5 ayat 10, “Dan Allah,
sumber segala kasih karunia, yang telah memanggil kamu dalam Kristus kepada
kemuliaan-Nya yang kekal, akan melengkapi, meneguhkan, menguatkan dan
mengokohkan kamu, sesudah kamu menderita seketika lamanya.”
Salam hangat,
Perempuan itu.
P. S : Ini foto tadi. Akhirnya bisa foto-an
di sebelah bang Zendrato :’D Satu – satunya orang yang ketika melihatnya aku
berpikir, “Ga ada salahnya mendoakan cowok
kolerik. Mereka juga layak didoakan.” “Kalo
pendetanya kaya’ abang ini aku juga mau jadi istri pendeta.” Pengkhotbah
yang bisa buat aku cuma melihat ke arahnya selama berjam – jam tanpa merasa
bosan ataupun ngantuk, dan nahan ke kamar mandi biar ga ketinggalan satu
kalimatpun. Haha. Dan, ada hal baru yang langsung tertanam dan tumbuh di hatiku
tanpa bisa kulupakan walaupun tak kutuliskan setiap mendengarnya berkhotbah :)
Syukur kepada Tuhan yang memakai beliau ^^
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--Ice
breaker--
“Jadi, kalo
harus milih antara bang Zendrato sama bang *, kau lebih suka yang mana May?”
“Tergantung
ibadahnya ibadah apa sih, bang. Kalo untuk yang gini, bang ini, kalo yang gini,
bang ini lah.”
“Oh gitu..”
“Tapi kan
bang..”
“Apa itu?”
“Sesuka –
sukanya aku sama bang Zendrato..”
“Apa? Aku lebih
suka sama abang sih, gitu?”
“Iya sih. Kok
tau? Hahaha..”
“Udah ketebak,
May! Udah! Udah cukuplah kau ngegombalin aku -_-”
0 komentar:
Post a comment